Syekh Abdul Qadir Jaelani
Dari Wikipedia
Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M  kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani  atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق  الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.
| Daftar isi[sembunyikan] | 
[sunting] Kelahiran, Silsilah dan Nasab
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts  al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Riwayat pertama yaitu bahwa ia  lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama[1]. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami  rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a  sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal  sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua  orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu"[1]. Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani)[1]:
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid  bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin  Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW
Dari ibunya(Husaini)[1] :  Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu  Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa  bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW
[sunting] Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul  dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu,  Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah  Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh  Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.  Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di  sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar  nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu  datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu  menampung lagi.
[sunting] Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.
[sunting] Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir  menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa  kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian  terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya  untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
[sunting] Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud.  Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang  bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya  adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang  mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al  Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo  tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak  bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis  perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia  dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian  kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya,  sehingga aku tidak meriwayatkan  apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan  terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat  dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang  jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama  lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin  Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah,  biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri  tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab  ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
[sunting] Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani  Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid,  sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya [1] :
- Tafsir Al Jilani
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
- Al-Fath ar-Rabbani
- Jala' al-Khawathir
- Sirr al-Asrar
- Asror Al Asror
- Malfuzhat
- Khamsata "Asyara Maktuban
- Ar Rasael
- Ad Diwaan
- Sholawat wal Aurod
- Yawaqitul Hikam
- Jalaa al khotir
- Amrul muhkam
- Usul as Sabaa
- Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari  majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya,  ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap  orang-orang yang menyelisihi sunnah.
[sunting] Ajaran-ajaranya
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota  Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab  ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi  Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan  perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk  Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah  bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan  perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga  memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib.  Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki  kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap  sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas  kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya  merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi  juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat  hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul  Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak  benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul  Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir  Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab  Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang  Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah  lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok  Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya  dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.  509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul  Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
[sunting] Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya,  “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul  keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa  tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat  menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan  perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada  orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid  Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke  tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur,  beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku  menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan  orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu,  beliau meludah 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan  ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah  dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku salat dzuhur dan duduk  serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga  membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali  r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meludah 6 kali ke  dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak  meludah 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab  bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah  SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara  ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada ,  dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan  dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir,  "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan  menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata,  ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri,  "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan  menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan  karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata  suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan  dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku"  tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak  ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang  meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke  Baghdad dan mulai berceramah.
[sunting] Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara  dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan  kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya.  Ia meludah ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meludah ke  dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang  dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku  kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa  ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan  dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir  As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para  wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan  dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila  engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan  berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir,  Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan  Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan  lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari  ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara  dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum  Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut  beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun  berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
[sunting] Hubungan Guru dan Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan  mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah  mendarah daging dalam dirinya.
- Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
- Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
- Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
- Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
- Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
- Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah  dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si  miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh  Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan  standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh.  Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia  tidak pantas untuk diikuti.
Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan  manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi  hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah  zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak  hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama  masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku  berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku  ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan  mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu,  Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali  dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali  dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal  talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada  seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada  Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang  berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan  engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127  M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai  dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir  menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah  itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593  H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga  dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206  M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. `
[sunting] Pranala luar
[sunting] Referensi
- Manakib Syekh Abdul Qodir Al Jailani, Perjalanan Spiritual Sulthanul Auliya, Pustaka Setia, Bandung, 2003
- Al Ghunyah, 2010

0 komentar:
Posting Komentar